Rabu, 10 Mei 2017

Bab 5 : Brother Complex


“Orang bilang cinta tak bisa disalahkan. Lantas, apakah cintaku ini juga berhak mendapat pembelaan? Atau justru ancaman?”

-&&&-


Suasana pagi ini terasa sangat berbeda, lebih hidup dan berwarna. Rein terus memperhatikan kakaknya yang saat ini tengah fokus menyetir, sosok malaikat tampan yang selalu menjaganya, mengukir dan mengenalkan betapa indahnya dunia kepadanya. Indah, sebuah kata penuh makna yang sampai sekarang belum dapat Rein mengerti, ia tak pernah menemukan keindahan lagi setelah kejadian naas beberapa tahun silam, kecuali keluarga dan mentari pagi yang selalu menghangatkannya. Ah, ia hampir lupa dengan kebiasaannya yang  satu itu, padahal selama ini ia tak pernah melupakannya. Tapi rupanya sosok di sebelahnya ini mampu membuatnya melupakan segalanya, membuat gravitasi seolah hanya tertuju padanya.

Gadis itu menutup matanya perlahan, mengenyahkan pikiran-pikiran kotor yang selama ini mengganggunya. Rein tahu bahwa ia memang tak waras, dan ia tak bisa menyangkalnya. Semua itu terasa nyata, perasannya tak pernah bisa ia bohongi, bahwa ia mencintainya, sangat.

“Rein… kau tak apa?” ucap Ichsan di sebelahnya dengan pandangan khawatir, dan Rein merasakannya, lagi. Ia merasa senang bahwa kakaknya amat perduli padanya. Itu tak wajar, tapi bagaimana lagi? Bahkan ia tak bisa menghentikan perasaannya sendiri.

“Kakak, apa kau mencintaiku?”

“Aku sangat mencintaimu Rein, melebihi diriku sendiri”

Rein tersenyum kecut mendengar jawaban spontan Ichsan, ia tahu betul jika Ichsan mencintainya, sebagai adik tentunya. Bolehkah ia sedikit berbangga diri? Tapi sisi lain dalam hatinya meronta, meminta lebih atas hak yang sudah didapatkannya. Rasanya ia tak bisa hidup dalam kungkungan atmosfer yang sama dan berbagi oksigen dengan Ichsan jika ia terus melakukannya, menumbuhkan benih cinta yang tak pernah bisa gugur.

-&&&-

Ichsan menghentikan mobilnya tepat didepan gerbang sekolah Rein, menatap beberapa murid yang tengah berlalu-lalang memasuki sekolah adiknya itu.

“Hey! Kita telah sampai, apa kau begitu mencintaiku hingga tak ingin kita berpisah walaupun hanya beberapa jam?” Ichsan beringsut, membantu melepas seatbelt Rein sembari menahan tawa tatkala mendapati wajah adiknya yang tertekuk. Oh, bukankah itu menggemaskan? Hiburan pagi yang amat manis bukan?

“Ya, dan aku sangat berterima kasih karena kau telah bersedia mengantarku wahai Voldemort yang tampan!”  Balas Rein tak kalah sengit, sebenarnya perkataan kakaknya memang benar hingga membuatnya membeku beberapa detik sebelum ia kembali tersadar. Ah, andai Ichsan bukan kakak kandungnya, ia pasti akan sangat bersyukur.

“Cepatlah, nanti kau terlambat tuan putri”

“Alasan klasik untuk mengusirku. Sampai jumpa pangeran tampan” Rein melangkahkan kakinya keluar diiringi tawa kakaknya yang kembali meledak. Ah, sungguh pintar ia membuatku jatuh cinta, gumam Rein dalam hati. Deru mobil yang ia dengar membuatnya terpaksa berbalik, melambaikan tangannya pada seseorang di dalam mobil itu yang berangsur meninggalkan area sekolah. Gadis itu mendesah kecewa tatkala mobil kakaknya menghilang ditikungan yang hanya berjarak sekitar 120m dari tempatnya berdiri.

“Hey, rupanya kau sudah sampai. Aku tak melihatmu dibus tadi” Rein memundurkan langkahnya, sedikit kaget karena sebuah suara tiba-tiba menginterupsi dirinya. Calvin, astaga anak itu. Akhir-akhir ini rasanya dia selalu muncul di hadapannya, entah itu dimimpinya ataupun dunia nyata, ah ya justru semakin sering semenjak Rein bertemu langsung dan melihat rupanya.

“Jangan mengagetkanku, Aksa!”

“Apa? Kau memanggilku siapa?”

“Ah sudahlah…” gadis itu berjalan tergesa, meninggalkan Calvin yang berdiri mematung menatap kepergiannya. Aksa? Siapa Aksa? Apakah dia kekasihnya yang baru saja mengantarnya tadi? Pikir Calvin dalam hati.

“Sial! Kemana dia akan pergi?”

 Calvin memutuskan berjalan mengikuti langkah Rein tatkala netranya tak sengaja menangkap siluet seorang gadis yang amat ia kenali berjalan menuju arah yang berlawanan dengan kelasnya. Jika seharusmya Rein berbelok kearah kanan, ia justru berbelok ke kiri yang merupakan area perpustakaan. Tapi lagi-lagi gadis itu membuatnya bingung, kali ini ia memang tak berbelok, melainkan terus berjalan melewati pintu yamg seharusnya ia masuki sejak tadi. Ah, apa dia akan pergi ke taman? Tapi bukankah taman itu sudah ia lewati? Kemana sebenarnya Reiin akan pergi? Benar-benar gadis aneh.

-&&&-

Rein merasa diawasi sedari tadi, tapi ia tak ingin ambil pusing. Hanya ada satu hal yang terlintas dikepala cantiknya, menenangkan diri dan menjauh dari kebisingan yang hanya akan membuat kepalanya serasa akan meledak. Dan tempat itu hanya ada disini, Rein menemukannya ketika ia masih kelas 10, sebuah hutan buatan yang terletak dibalik perpustakaan, tak heran jika tak banyak orang yang tahu tempat ini, mungkin mereka berpikir kenapa harus repot berjalan kaki jauh-jauh jika mereka bisa mengunjungi tempat yang lebih indah dan dibandingkan tempat terpencil seperti ini.

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap satu-persatu pohon yang tumbuh di hutan ini, sedikit berbeda dari hutan lainnya memang, jika hutan para umumnya ditumbuhi pohon pinus dan pohon-pohon lain yang Rein tak tahu namanya, justru keseluruhan hutan ini hanya ditumbuhi oleh pohon maple, dan beruntungnya kali ini daun-daun indah itu tengah berubah warna menjadi kuning kecokelatan. Rein menghirup napas dalam-dalam, membiarkan udara segar mengisi penuh rongga dadanya yang terasa sesak, lantas menghembuskannya dengan perlahan, ia memejamkan matanya, merasakan desau angin menyapa kulit lembutnya, membawa beban pikirannya bersama nyanyian alam yang menyambut kedatangannya.

Andai ia dapat mengunjungi tempat ini setiap hari, tapi tak mungkin. Hal itu hanya akan membuat orang-orang, terutama Alyn curiga. Bukannya ia pelit, tak mau membagi sedikit informasi memgenai tempat indah yang tersembunyi dalam sekolah mereka. Rein hanya… ia hanya ingin melindunginya, ia tak dapat membayangkan bagaimana nantinya tempat uni jika semua orang tahu, tak akan ada lagi tempat hening yang mampu meredam.semua emosinya kecualu perpustakaan. Ya, sayangnya perpustakaan kini juga sudah beralih fungsi menjadi tempat favorit untuk berkencan bagi mereka yang tak ingin hubungannya terekspos, dengan alibi belajar bersama tentunya. Siapa yang akan curiga? Tentu Reun, dia adalah pengamat yang handal, meskipun begitu ia tak ingin berkicau, memilih diam dan menikmati hidupnya sendirim

Lagi-lagi perkembangan zaman yang menjadi sebabnya, ada kalanya Rein berpikir ingin hidup pada zaman dahulu dimana manusia masih mencintai dan melindungi alam dengan sepenuh hati mereka. Tidak seperti sekarang, manusia  seakan berlomba mengeksploitasinya, bahkan mengganti semua pekerjaan yang dahulu dilakukan oleh manusia dengan alat yang sekali tekan akan bekerja secara otomatis. Canggih? Tentu, tapi tak ada lagi kebersamaan, hanya ada ego dan sikap apatis dimana-mana.

Tapi Rein bersyukur, setidaknya masih ada sesuatu yang dapat ia nikmati keindahannya sebelum tempat tinggalnya berubah menjadi kota dengan robot besi di setiap sudut kota, atau bahkan menjadi kota besi yang berkarat. Tidak, Rein menggelengkan kepalanya beberapa kali, tersadar bahwa lamunannya telah membawanya terlalu jauh, dan sungguh Rein tak ingin hal itu benar-benar terjadi.

Tap… tap… tap

“Suara apa itu?” guman Rein lirih. Ia sdikit waspada mengingat lokasi ini jauh dari keramaian, dan itu akan mempermudah apabila ada seseorang yang ingin berbuat jahat kepadanya. Baru saja ia hendak kabur, memilih berlari dan menyelamatkan diri tetapi ia urungkan niatan itu setelah melihat Calvin berdiri tak jauh dari tempatnya. Pria itu tersentum, menampakkan lesung pipit dikedua pipinya yang membuatnya semakun terlihat manis.

Perlahan Calvin berjalan mendekatinya, mengikis sedikit demi sedikit jarak yang ia buat sendiri. Sebenarnya tadi ia ingin langsung mendekat pada Rein, tapi melihat gadis itu amat menikmati kegiatannya, ia menjadi segan untuk mengganggu.

“Apa kau sudah lama berdiri disana?”

“Ya, sejak kau menginjakkan kakimu disini. Aku tak tahu apa masalahmu, tapi kau bisa bercerita padaku” Jawaban polos Calvin membuatnya sedikit tersipu. Ah, kenapa ia jadi sangat mudah jatuh hati? Bahkan Rein terlah jatuh hati kepada namanya jauh sebelum ua nengenal pria itu! Ya, Tuhan! Padahal kedatangannya kemari tak lain adalah karena rasa cintanya yang menggebu terhadap kakalnya sendiri. Ini terasa tak masuk akal, pria itu mampu merasuki hati Rein semudah ia memasuki kehidupannya, menggantikan peran Ichsan didalamnya tanpa sisa.

“Kau akan menganggapku gila jika aku bercerita padamu”

“Benarkah?”

“Ya, aku menyukai seirang pria” Calvin terikik mendengar kalimat awal Rein. Menurutnya itu lucu, bagaimana bisa gadis itu berasumsi bahwa Calvin akan menganggapnya gila hanya karena gadis itu menyukai seorang pria, bukankah itu normal? Atau…

“Hey! Aku normal, aku gadis tulen. Tak seperti yang kau pikirkan, oke?” Calvin berdehem, menghentikan tawanya kerika Rein mulau menarik napasnya, bersuap untuk melanjutkan ceritanya

“Dia terpaut 7 tahun dariku, aku memanggilnya Chan, dan dia seorang polisi muda yang tampan. Dia sangat menyayangiku dan selalu melindungiku, bahkan ia berkata bahwa ia mencintaiku melebihi dirinya sendiri”

“Lalu apa yang salah? Kalian saling mencintai”

“Tak semudah yang kau pikirkan Aksa…” Rein berhenti sejenak, menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya, ia melakukan hal itu beberapa kali untuk mengurangi rasa gugupnya. Ini adalah kali pertamanya Rein bercerita kepada seseorang, dan orang itu adalah orang yang baru saja dikenalnya kemarin. Entahlah, ia hanya percaya begitu saja dengan pria di hadapannya ini yang tengah memasang ekspresi penasaran dan ekspresi lain yang tak terbaca

“Dia kakakku”

“APA?”


-&&&-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar