"Dunia memang sempit. Sesempit pandangan mereka terhadapmu serta
kenyataan yang menghimpitku secara paksa"
-&&&-
Rein bergegas menuju kelasnya setelah melihat papan
pengumuman. Memang tak butuh waktu lama untuk mencari namanya, ia hanya butuh
waktu beberapa detik untuk memastikan bahwa pandangannya tak salah dan tersesat
dikelas lain. Selain itu, ia juga ingin menghindari teman-teman yang tadi
berangkat bersamanya, tentu saja ia malu, terlebih pada pria itu. Entah apa
yang ada di pikirannya saat itu, rasanya ia ingin menenggelamkan dirinya ke
dalam samudra yang luas agar tak ada yang dapat menemukannya dan mengejeknya
karena kejadian tadi.
Kelas barunya terkesan sepi, hanya ada beberapa orang yang
sering ia lihat tapi ia lupa nama mereka. Jadi, daripada terjebak dalam
kecanggungan dan harus kembali berbasa-basi seperti tahun-tahun yang lalu, ia
memilih keluar dan duduk dibangku panjang yang memang sudah disediakan didepan
masing-masing kelas. Jujur saja, Rein memang tak terlalu suka bersosialisasi,
bahkan hingga saat ini mungkin hanya Alyn yang setia menempel padanya seperti
lem.
Rein sempat heran, menurutnya Alyn adalah gadis yang manis,
cerdas, mudah bergaul, dan tak sedikit yang menaruh rasa kagum padanya, bahkan
memintanya menjadi kekasih mereka. Alyn juga dapat dengan mudah berteman dengan
gadis-gadis populer disekolahnya. Tapi kenapa Alyn memilih dirinya? Menolak
berlian dan memilih batu sungai yang tak bernilai?
"Rein…" Rein sedikit terkejut ketika sebuah suara
yang begitu nyaring menyuarakan namanya.
Siapa lagi kalau bukan Alyn? Alyn berlari dengan senyum yang amat lebar lantas
menubruk Rein yang masih bingung akan tingkah sahabatnya itu
"Hey! Apa kau gila?" Tanya Rein heran.
"Aku tak menyangka! Rein, aku mencintaimu. Kau memang
jodohku! Aaa… aku benar-benar bahagiaaa…" Rein yang tak mengerti hanya
diam mendengarkan ocehan Alyn yang tak tahu kapan berhenti. Merasa tak mendapat
respon positif, Alyn mendengus kesal, lantas menatap Rein dengan tatapan
mengintimidasi
"Apa?"
"Apa kau tak bahagia huh?"
"Memangnya kenapa? Kau mendapatkan voucer dinner dengan
Ko Chen-tung?"
Alyn memijit kepalanya yang seketika pening. Berbicara
dengan Rein memang diperlukan kesabaran ekstra, selain agak lemot, otaknya juga
dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi yang ada dalam novelnya. Tapi anehnya, ia
dapat menyerap materi pelajaran dengan baik. Aneh kan?
Baru saja Alyn akan melangkah meninggalkan Rein, sebuah
tangan mencekal pergelangan tangannya. Tak perlu pikir panjang, Alyn berbalik
dan menatap gadis yang kini tengah terkikik geli hingga matanya hanya terlihat
segaris.
"Hehe maafkan aku. Aku hanya bercanda. Kau sensitif
sekali sih? Jadi, kita sekelas?"
Alyn berteriak girang hingga membuat beberapa siswa yang
tengah berlalu-lalang memandangnya heran. Rein yang menyadari bahwa mereka
tengah menjadi pusat perhatian, merasa sedikit sungkan karena telah membuat
keributan, ia tersenyum kecil dan mengangguk singkat sebagai permintaan maaf
lantas mencubit perut Alyn dengan gemas. Rein berdecak sebal, bisa-bisanya anak
ini.
"Aw! Rein… apa sih?"
"Diamlah! Ayo masuk dan cari tempat duduk" Ujar
Rein masa bodoh, sembari menarik ujung kerah belakang seragam Alyn yang dapat
diraihnya. Alyn cemberut kesal, tapi ia hanya pasrah mengikuti kemauan
sahabatnya. Ia tak perduli akan duduk dimanapun, asalkan Rein yang menjadi
teman sebangkunya. Alyn pintar, Rein apalagi? Dia sudah seperti perpustakaan
berjalan. Lantas, apa yang perlu ditakutkan?
Jika ada yang mengatakan 'dunia selebar daun kelor', mungkin
benar adanya. Baru saja Rein menduduki bangkunya yang berada dibaris ketiga dan
kolom ke dua dari kanan, seorang pria memasuki kelasnya, ia berjalan seakan
dunia miliknya, tak perduli jika ada orang lain yang sedang menggunjingnya atau
menatapnya kagum. Untuk pilihan kedua, mungkin hanya berlaku bagi Rein. Pada
dasarnya, pria itu biasa saja, tapi Rein merasakan aura yang berbeda saat
bersamanya, dan itulah daya tarik yang Rein sukai.
Rein mengucek matanya, sekedar mengecek pandangannya yang
mungkin saja salah. Bisa saja kan ia tengah berhalusinasi akibat kejadian tadi?
Tapi tidak, Rein benar-benar dalam keadaan sadar. Pria itu, orang yang sama
yang dapat membuat kelopak matanya membuka lebar dan bertahan tak berkedip
untuk beberapa waktu. Pria itu memasuki kelasnya, dan itu artinya…
Rein menyikut Alyn pelan setelah pria itu mendudukkan
dirinya tepat di belakang Rein. Sebenarnya Rein bersyukur karena pria itu
bersikap biasa saja seolah tak pernah terjadi apapun diantara mereka, tapi ada
sedikit rasa kecewa yang menyelimuti hatinya. Apa pria itu melupakannya? Kenapa
dia tak mengenalnya? Ah! Yang benar saja, mereka kan memang tak saling
mengenal, pikir Rein dalam hati.
"Apa?"
Rein memberikan kode pada Alyn untuk mendekatkan dirinya
lantas membisikkan sesuatu sepelan mungkin agar tak ada yang dapat mendengarnya
kecuali Alyn.
"Kau tahu siapa pria yang duduk dibelakangku?"
"Iya, memangnya kenapa? Kau suka padanya ya?" Ujar
Alyn sembari melayangkan tatapan menggoda.
"Siapa bilang? Aku hanya penasaran kok. Lagipula, aku
tak tahu ternyata dia juga kelas 12 seperti kita"
Alyn terkekeh kecil mendengar Rein yang membalas godaannya
dengan nada kesal. Lucu saja rasanya berhasil menggoda Rein yang memang susah
digoda, bahkan sampai sekarang tak ada seorangpun pria yang dapat meluluhkan
hati sahabatnya itu. Kecuali pria itu, pria aneh dengan sejuta pesona. Mungkin
Alyn harus memberikan hadiah padanya karena dia berhasil membuat sahabat yang
tak jauh anehnya dengan pria itu menaruh rasa penasaran padanya.
-&-
Sudah 35 menit lebih Rein dan semua siswa kelas XII
Akuntansi 1 menunggu, namun sampai saat ini belum ada satupun guru yang
memasuki kelasnya, entah itu perkenalan atau memulai pelajaran. Seluruh siswa
terlihat bosan, begitu pula dengan Rein. Terlebih karena pendengarannya yang
terlampau tajam membuatnya mau tak mau mendengar bisik-bisik yang terdengar
persis seperti dengungan lebah, dan jika tidak salah mereka tengah membicarakan
pria yang duduk dibelakangnya.
Panas, suasana kelas masih terasa panas walaupun kipas angin
sudah disetel full. Hatinya juga panas. Entah kenapa ia merasa sedikit kesal
mendengar teman kelasnya membicarakan pria misterius itu, setidaknya itulah
yang berhasil tertangkap oleh telinganya.
Semua murid mendesah lega tatkala seorang memasuki kelas
mereka. Dilihat dari penampilannya, ia sepertinya belum terlalu tua, atau
memang masih muda?
"Selamat pagi anak-anak"
"Pagi Pak" ucap seluruh siswa serentak
"Pagi Kak" Semua murid tertawa ketika seseorang memanggil
pria yang mereka taksir akan menjadi wali kelasnya itu dengan sebutan kakak.
"Maaf sebelumnya, saya terlambat karena ada urusan
sebentar. Nama saya Tirta dan saya akan menjadi wali kelas kalian untuk setahun
mendatang" Ujar guru itu sembari tersenyum lantas mengedarkan
pandangannya untuk mengamati muridnya satu-persatu.
"Hari ini kita hanya akan perkenalan untuk memudahkan
proses belajar. Saya tahu kalian pasti sudah saling mengenal, tapi apa salahnya
kan? Dimulai dari absen pertama, dan setelah selesai kalian bebas melakukan
apapun, asal jangan berisik" Semua siswa bersorak girang, siapa sih yang
tak suka tawaran seperti ini? Tujuan kami bersekolah memang untuk belajar,
untuk menuntut ilmu, tapi pelajaran kosong tetaplah menjadi favotit semua
siswa. Benar kan?
"Ah ya, barangkali ada yang ingin kalian tanyakan
tentang saya sebelum mulai perkenalan?" Suasana kelas yang sudah mulai
tenang setelah kegaduhan tadi kembali berisik, didominasi oleh gadis-gadis
penggemar para pria tampan. Cogan, begitu mereka menyebutnya. Banyak yang
mereka tanyakan, tak hanya satu tapi sepertinya mereka menanyakan lebih dari 1
pertanyaan secara bersamaan. Tak banyak yang dapat ditangkap oleh pendengaran
Rein, dan dia juga tak ingin ikut campur dalam urusan mereka. Rein memiliki
dunia sendiri, dan ia cukup menikmatinya.
"Cukup, cukup. Sepertinya saya akan memperkenalkan diri
saya lain waktu, dan untuk perkenalan antar teman, daya yakin kalian bisa
melakukannya sendiri. Srkarang saya ada urusan mendadak. Mohon kerjasamanya,
dan ingat jangan berisik" Ucap Pak Tirta sembari melirik arloji yang
terpasang ditangan kirinya. Sedangkan, gadis-gadis yang tadi terlihat sangat antusias
hanya bisa mendesah kecewa. Sebenarnya Rein sudah menduga hal itu, sejak tadi
memang wali kelasnya terlihat agak buru-buru, jadi ia tak terlalu terkejut.
Rein merasa sedikit aneh, seperti ada seseorang yang
memperhatikannya. Tapi setelah melihat sekeliling, tak ada yang terlihat
demikian, bahkan mereka terlihat asyik berkenalan satu sama lain, termasuk Alyn
yang kini tengah menggoda pria yang terlihat agak pemalu dibangku pojok kelas
mereka.
Sesaat Rein tersadar, ada 1 orang lagi yang belum diliriknya.
Ya, pria itu. Tapi, apa mungkin ia memperhatikannya? Tiba-tiba saja kursinya
bergerak, sontak membuat Rein panik dan berdiri, mengira bahwa guncangan itu
mungkin saja gempa. Tapi ketika ia berdiri, kenapa tiba-tiba gempa itu berhenti?
Hmm, pasti ada yang salah, pikirnya.
Berbalik, Rein menatap lamat-lamat pria yang tengah menahan
tawanya, yang malah terlihat menggelikan dimata Rein.
"Apa kau yang menggoyangkan kursiku?"
"Bhahaha… haha" Bukannya menjawab, pria itu justru
melepaskan tawanya, membuat seluruh penjuru keras melirik mereka dengan
pandangan tak suka. Rein mendengus agak keras, sedikit menyesal pernah berpikir
untuk menyukai pria itu. Benar kata teman-teman barunya, dia aneh. Dan hmm…
agak gila.
"Hey… apa kau marah? Aku tak bermaksud seperti itu,
sungguh" Ucap pria itu dengan nada sesal yang kentara, tentu saja setelah
ia meredakan tawanya yang terdengar sangat tidak elite. Membuat Rein mau tak
mau menarik sudut bibirnya, membentuk senyum. Ia juga merasa tak tega, bukankah
sesama teman memang harus saling memaafkan?
"Omong-omong namaku…"
"Agatha Rein? Benar?"
"Bagaimana kau tahu? Bahkan baru kali ini aku
melihatmu"
Pria itu tersenyum, menampakkan lesung pipit di kedua
pipinya. Manis, bahkan sangat manis, membuat Rein terhipnotis untuk sesaat.
"Namaku Calvin Antariksa"
.
.
.
Dan waktu terasa berhenti, mengejutkan dunia atas apa yang
baru saja diketahuinya. Dia? Calvin Antariksa?
-&&&-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar